Minggu, 09 Juni 2013

Pencabulan : Sebab Kurang atau Terlalu Bebas?




Pencabulan di negeri kita makin marak terjadi dari hari ke hari. Pelakunya bervariasi, dari lelaki paruh baya sampai anak SD. Dari yang yang hubungannya sekedar pacar, hingga hubungan orangtua-anak. Makin hari, pertumbuhan angka kejahatan seksual ini terus melambung, dan makin membuat kita menggeleng-gelengkan kepala.
Suburnya perilaku kebejatan moral ini mengundang rasa gerah masyarakat untuk segera memberantas dan membersihkan maraknya perilaku hewani ini. Maka mulailah bersuara berbagai organisasi, terutama LSM-LSM, dan juga pemerintah. Menurut mereka, banyak terjadi problematika semacam ini dikarenakan masalah ketimpangan hak individu yang belum terjamin pemenuhannya, baik berupa hak reproduksi, hak menentukan pilihan hidup sebebas-bebasnya, dan sebagainya, serta yang paling sering mereka perjuangkan salah satunya adalah kesetaraan hak-hak perempuan dengan laki-laki.
Namun jika coba kita lihat dari sudut pandang lain, maka akan kita temukan bahwa ini semua lahir diakibatkan paham sekulerisme yang berkembang dan menjadi dasar berpikir nyaris mayoritas dunia saat ini, termasuk Indonesia. Sadar atau tidak, Indonesia telah menganut asas sekulerisme –memisahkan agama dari segala urusan hidup sehari-hari, tidak mengingkari adanya Tuhan tapi tidak mau mengambil aturan yang diturunkan Tuhan untuk mengatur hidupnya di dunia.  Ketika manusia tidak mau diatur oleh Allah dan membuat aturan sendiri, maka dapat dibayangkan bagaimana mereka dapat berbuat apapun sebebas-bebasnya dan selalu memprioritaskan kebutuhan materinya sendiri, serta hanya menjadikan manfaat sebagai penentunya melakukan satu tindakan. Bahkan kebebasan individu ini begitu dipertahankan sampai dijadikan dasar dibuatnya hukum-hukum yang ada. Maka dari sini lah lahir juga demokrasi dari sekularisme, sistem pemerintahan yang ada untuk menjamin kebebasan individu tiap-tiap rakyatnya. Maka tindakan yang mengutamakan nafsu seperti tindak pencabulan wajar adanya jika berkembang pesat di negara yang menjunjung tinggi kebebasan, dimana batas kebebasannya itu sendiri sangat subjektif dan tidak jelas.
Sekulerisme ini pun tak hanya sekedar paham, namun sudah merasuk ke sebagian besar masyarakat, baik mereka sadar ataupun tidak. Ditambah dengan proses pembuatan hukum dan jalannya pemerintahan yang juga berasaskan sekulerisme membuat tindakan asusila ini semakin merajalela. Hukum agama Islam yang sebenarnya mampu memberantas tindak kejahatan ini ternyata hanya option saja. Jika pun ada, hukum yang diambil dari Islam pun hanya sebagian dan hanya bagian tertentu saja yang sesuai keinginan. Ini menunjukkan bahwa sekulerisme ini sudah mengakar, menginvasi ke seluruh lini masyarakat, dan dapat kita katakan sudah menjadi sistem yang dijadikan asas dan panduan ketika melakukan tindakan apapun.
Jika lawan kita adalah sistem, maka tak bisa diatasi dengan kekuatan individu saja atau kelompok, namun diatasi dengan solusi sistemik pula. Dibutuhkan satu sistem yang menjaga kehormatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, seperti perintah untuk menjaga kemaluan dan menundukkan pandangan seperti dalam surat Al-Mu’ minun ayat 30 dan perintah menutup aurat bagi perempuan seperti pada surat Al-Ahzab 59 dan An-Nur ayat 31.
Selain itu dibutuhkan sistem pendidikan yang tidak lagi berasaskan keuntungan dan sekedar mencetak generasi sekuler kapitalistik, namun berasaskan kesadaran akan wajibnya mencari ilmu, yang disadari dengan penuh tanggungjawab baik oleh peserta didik maupun praktisi pendidikan. Pun dibutuhkan sistem ekonomi yang menyejahterakan rakyatnya, sehingga peran ibu yang sesungguhnya –sebagai pengurus generasi dan rumah tangga– dapat kembali optimal demi terbangunnya keluarga sebagai benteng utuh dari kerusakan moral dan terbentuknya mental-mental generasi pejuang. Tak lepas dibutuhkan juga sistem yang mengontrol lingkungan di luar rumah, pembendung banjirnya informasi pornografi dan pornoaksi agar tidak lagi meracuni masyarakat luas. Itulah sistem Islam yang akan menerapakan syariah Islam dalam bingkai Khilafah yang menjaga ummat dibawah naungannya dari bahaya dunia dan akhirat, dimana segala sesuatu berasaskan kepada ketaatan kepada Allah semata yang Maha Benar, Maha Segalanya, dan paling tahu apa yang terbaik untuk manusia lebih dari manusia itu sendiri. 

Jumat, 24 Mei 2013

Suriah Hari Ini : Aksi Menuju Kemenangan Hakiki



Bumi Syam hingga hari ini masih berada dalam  situasi mencekam.  Nyawa yang melayang dan darah yang tercecer kian hari kian bertambah. Jumlah syahid dan korban-korban yang berjatuhan dari kalangan muslim semakin banyak.
Para mujahidin, disana, telah bergerak demi membela agama, sanak keluarga dan agama mereka. Tidak hanya penduduk Syam, banyak juga volunteer yang menyertakan diri dalam perjuangan ini, seperti muslim Belanda, Irlandia, bahkan Cina. Itulah ikatan persaudaraan yang diikat oleh akidah Islam –tak mengenal batas negara, kesukuan ataupun ras. Mereka bergerak karena mereka sadar bahwa ini adalah perjuangan kaum muslimin, ini adalah revolusi Islam, bukan sekedar  revolusi Suriah. Ketangguhan mereka yang berlandaskan iman yang mantap dan kokoh secara masif memukul mundur pasukan rezim Nushairiyah Bashar Al-Assad.
Perjuangan mereka menuju persatuan kaum muslimin di seluruh dunia dalam satu pelindung yaitu institusi Daulah Khilafah Islamiyyah tentunya tak mendapat restu dari sejumlah pihak yang tak menghendaki bangkitnya Islam. Seperti yang terjadi di Arab Saudi, yang mengeluarkan pelarangan untuk ikut berjuang ke Suriah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Arab Saudi. Ini menunjukkan kepada kita dua hal :
Pertama, semakin menekankan pentingnya keberadaan satu institusi negara yang menjadi perisai bagi umat islam. Karena sebagus apapun konsep Islam, sulit bahkan tak akan nampak kebesarannya bila hanya sebatas konsep dan tidak diterapkan secara praktis dalam kehidupan. Pun tanpa perisai ini, penerapan hanya akan berlaku parsial dan terpecah-belah sehingga cahayanya mudah dipadamkan, sebagaimana perkataan Ali Bin Abi Thalib, “Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tak terorganisir”. Maka, disini diperlukan satu institusi yang mampu menjadi pelindung umat  demi tercapainya kemenangan umat yang hakiki, Khilafah Islamiyah.
Kedua, memahami bahwa perjuangan para mujahidin di Suriah adalah perjuangan hakiki menuju tegaknya Khilafah yang akan tidak hanya melindungi umat muslim di Suriah namun juga di seluruh dunia. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membantu saudara-saudara dengan sekuat tenaga , dengan tenaga ‘sisa’ dari  aktivitas kita sehari-hari.. Hal ini sesuai dengan isi hadits “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam”. (HR. Muslim). Untuk kita yang belum memiliki kemampuan mumpuni untuk menjadi garda depan di medan perang, maka peran kita adalah menggiatkan terbangunnya kesadaran umum akan penting dan urgentnya penegakkan Khilafah untuk melanjutkan kehidupan Islam.
Ini mengingatkan kita bahwa sebenarnya negeri-negeri Islam yang lain telah ada bagian dari umat muslim yang telah terlatih untuk berlaga di medan jihad –militer. Teriakan takbir serta jeritan meminta pertolongan, harusnya mampu menggedor hati dan pikiran para militer muslim. Mereka mengingatkan para militer muslim tersebut, bukan akan sumpah yang mereka rapal kepada negeri-negeri mereka, tapi sumpah yang sudah mereka ucapkan, pahami dan hayati jauh sebelum itu –kepada Allah. Kalimat tauhid yang terluncur dari mulut para militan ini menuntut bukti kehambaan mereka kepada Allah, yang sudah seharusnya menjadi prioritas paling tinggi dibanding kehambaan terhadap manusia lain yang jelas-jelas tidak menerapkan hukum Allah. Sekaranglah kesempatan bahkan terhitung kewajiban para militer yang memiliki kapasitas untuk memberikan pertolongan langsung kepada kaum muslimin yang tertindas karena menganut akidah yang sama dengan yang kita anut, sebagaimana tertulis dalam terjemah Al-Qur’an Surat Al-Anfaal ayat 72 : jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan.

Sabtu, 18 Mei 2013

Memindai Wajah Baru di Oposisi Suriah



Ghassan Hitto, warga negara Amerika Serikat kelahiran Suriah, memenangkan suara mayoritas pada pemilihan perdana menteri kelompok oposisi Suriah yang dilakukan secara tertutup di Istanbul 18-19 Maret yang lalu. Ghassan Hitto resmi menggantikan Ahmad Mu’adz Al-Khatib, yang sebelumnya telah mengundurkan diri karena ‘lelah’  menghadapi lambatnya sikap lembaga internasional dalam menanggapi masalah Suriah dan memutuskan untuk bekerja lebih bebas di luar lembaga resmi. Naiknya Hitto sebagai perdana menteri (PM) yang baru diharapkan akan membawa perubahan di Suriah, lewat pembentukan pemerintahan yang baru dengan merangkul gerakan-gerakan yang aktif melawan rezim dan juga membuka peluang untuk berdialog dengan Bashar Al-Assad.
Setelah diskusi selama kurang lebih 14 jam, 35 dari 48 suara dari 63 anggota aktif Koalisi Nasional Suriah (SNC), pemilihan akhirnya dimenangkan Ghassan Hitto. Namun ternyata, terpilihnya ia sebagai perdana menteri SNC, yang merupakan kelompok oposisi di Suriah tersebut, tidak semulus itu. Juru bicara resmi SNC bahkan sampai walkout dari proses pemilihan, mencurigai adanya peran ‘pihak lain’ seperti Qatar dan Ikhwanul Muslimin yang diduga berada di balik Hitto. Hal yang sama terlontar dari komentar Kamal Labwani, salah satu anggota SNC yang juga walkout. Ia mencurigai kekuatan lain di belakang Hitto, dimana semua orang tahu bahwa Hitto menghabiskan kurang lebih 33 tahun di Amerika Serikat, bukan di Suriah. Bersamaan dengan terpilihnya Hitto, kurang lebih 12 orang menyatakan pemberhentian keanggotaan dari SNC. Hal ini disebabkan hasil pemilihan yang menurut mereka tidak sah. Tentara Pembebasan Suriah (FSA) pun tidak menyetujui hal ini, dikarenakan hasil pemilihan yang tidak mencapai konsensus dan hanya memenangkan suara mayoritas.
Jika dari dalam tubuh SNC sendiri saja sudah terjadi polemik karena naiknya Hitto ini, maka masa depan Suriah pun dipertanyakan. Hitto sendiri mulai pindah ke Texas, USA ketika berumur 17 tahun, melanjutkan pendidikan tinggi dan menjadi pebisnis di sana. Ini menunjukkan bahwa ia akan lebih akrab mengenal AS daripada Suriah. Kenaikannya menjadi PM pun mendapat pujian dari banyak pihak termasuk AS. Bahkan juru bicara luar negeri AS, Victoria Nuland, mengatakan bahwa para pejabat Amerika mengenal dan begitu menghormati Ghassan Hitto. Dari berbagai pidatonya, dapat kita sarikan bahwa salah satu hal yang ditargetkan Hitto adalah membangun struktur pemerintahan baru menggantikan struktur yang sekarang dimiliki Bashar Al-Assad serta berupaya untuk membuka jalan diplomasi dengan Bashar Al-Assad, juga menghimpun kekuatan internasional dalam usaha perdamaian Suriah, seperti dari Liga Arab atau PBB.
Akankah Hitto benar-benar membawa perubahan nyata kebangkitan Suriah? Dari awal, kedekatan Hitto dan AS sudah sangat tercium. Target-targetnya secara kalimat mungkin itu terhitung bagus dan indah. Namun, jelas target-target ini nyatanya akan memberangus revolusi sesungguhnya dan akhirnya menimbulkan perubahan yang tidak hakiki, seperti yang terjadi pada revolusi di Mesir. Semangat umat untuk berubah dengan kembali sepenuhnya pada penerapan Islam secara menyeluruh dalam naungan institusi Khilafah yang banyak digaungkan para mujahidin di Homs, Aleppo, Idlib, pun di Damaskus, dan kota-kota di Suriah lainnya, akan terpadamkan dan tersegel oleh hanya-sekedar-ganti rezim dengan permainan dalang yang sama : AS dan kroni-kroninya.
Umat dalam salah satu demonstrasinya di Aleppo sudah sadar bahwa pertolongan datang bukan dari Obama, bukan dari Erdogan, tapi dari Allah. Target yang dicanangkan Hitto mungkin bisa membawa perubahan, tapi hanya sekedar perubahan penguasa –itu pun belum tentu berhasil mengingat sedikitnya kepercayaan Suriah terhadapnya– dan bukan perubahan sistem yang sepenuhnya dibutuhkan umat: dari sistem non-Islami, baik demokrasi atau tirani atau apapun itu, menuju sistem Islam yang berasal dari Allah. Sebagaimana dalam potongan firman Allah dalam surat Yusuf ayat 40 yang artinya, “Sesungguhnya menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”. Ini menunjukkan keharusan berhukum pada syariat-syariat Allah pada seluruh aspek kehidupan manusia sebagaimana dalam bagian surat Al-Baqarah ayat 208, “Masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh”, dan bukan perubahan yang sekedar mengubah pion-pion pemegang kendali yang menjunjung sistem demokrasi dimana yang membuat hukum adalah rakyat –yaitu manusia– dengan segala keterbatasannya yang menyebabkan kesempitan dunia dan akhirat.

Senin, 28 Januari 2013

Cerpen of The Day : Robohnya Surau Kami


Ada yang mengidolakan sastrawan Ali Akbar Navis? Atau mengenal cerpen "Robohnya Surau Kami" yang sering dijadikan contoh untuk dianalisis unsur-unsur intrinsiknya waktu dulu SMP? Mungkin kalau mengidolakan, mungkin jarang ya untuk anak-anak muda jaman sekarang. Apalagi di zaman drama-drama melankolis seperti sekarang ini. Padahal, cerpen-cerpen sastra Indonesia sarat nilai, dan kalau saya lihat ceritanya juga berkualitas kok, keren dari segi alur cerita. Ga kalah hebat dengan kisah-kisah modern. (Serius, cerita-cerita produksi sastrawan Indonesia ga gampang ditebak). 

Maka dari itu, saya ingin mengangkat lagi di postingan blog saya, kisah yang terpatri di memori saya gara-gara tugas Bahasa Indonesia waktu SMP (saking diulang-ulangnya tugas itu), dan juga isinya yang keren, menggugah, 'menggerakkan', dan masih relevan untuk kondisi Indonesia saat ini. Untuk saya pribadi yang seorang muslimah, cerpen ini pun memotivasi saya untuk bergerak, berdakwah. Layak banget buat dibaca :-)



Robohnya Surau Kami -- Ali Akbar Navis

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasihdan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.
Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, “Pisau siapa, Kek?”
“Ajo Sidi.”
“Ajo Sidi?”
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”
“Siapa?”
“Ajo Sidi.”
“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya.”
“Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
“Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!”
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kagut.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia pergi kerja."