Sabtu, 18 Mei 2013

Memindai Wajah Baru di Oposisi Suriah



Ghassan Hitto, warga negara Amerika Serikat kelahiran Suriah, memenangkan suara mayoritas pada pemilihan perdana menteri kelompok oposisi Suriah yang dilakukan secara tertutup di Istanbul 18-19 Maret yang lalu. Ghassan Hitto resmi menggantikan Ahmad Mu’adz Al-Khatib, yang sebelumnya telah mengundurkan diri karena ‘lelah’  menghadapi lambatnya sikap lembaga internasional dalam menanggapi masalah Suriah dan memutuskan untuk bekerja lebih bebas di luar lembaga resmi. Naiknya Hitto sebagai perdana menteri (PM) yang baru diharapkan akan membawa perubahan di Suriah, lewat pembentukan pemerintahan yang baru dengan merangkul gerakan-gerakan yang aktif melawan rezim dan juga membuka peluang untuk berdialog dengan Bashar Al-Assad.
Setelah diskusi selama kurang lebih 14 jam, 35 dari 48 suara dari 63 anggota aktif Koalisi Nasional Suriah (SNC), pemilihan akhirnya dimenangkan Ghassan Hitto. Namun ternyata, terpilihnya ia sebagai perdana menteri SNC, yang merupakan kelompok oposisi di Suriah tersebut, tidak semulus itu. Juru bicara resmi SNC bahkan sampai walkout dari proses pemilihan, mencurigai adanya peran ‘pihak lain’ seperti Qatar dan Ikhwanul Muslimin yang diduga berada di balik Hitto. Hal yang sama terlontar dari komentar Kamal Labwani, salah satu anggota SNC yang juga walkout. Ia mencurigai kekuatan lain di belakang Hitto, dimana semua orang tahu bahwa Hitto menghabiskan kurang lebih 33 tahun di Amerika Serikat, bukan di Suriah. Bersamaan dengan terpilihnya Hitto, kurang lebih 12 orang menyatakan pemberhentian keanggotaan dari SNC. Hal ini disebabkan hasil pemilihan yang menurut mereka tidak sah. Tentara Pembebasan Suriah (FSA) pun tidak menyetujui hal ini, dikarenakan hasil pemilihan yang tidak mencapai konsensus dan hanya memenangkan suara mayoritas.
Jika dari dalam tubuh SNC sendiri saja sudah terjadi polemik karena naiknya Hitto ini, maka masa depan Suriah pun dipertanyakan. Hitto sendiri mulai pindah ke Texas, USA ketika berumur 17 tahun, melanjutkan pendidikan tinggi dan menjadi pebisnis di sana. Ini menunjukkan bahwa ia akan lebih akrab mengenal AS daripada Suriah. Kenaikannya menjadi PM pun mendapat pujian dari banyak pihak termasuk AS. Bahkan juru bicara luar negeri AS, Victoria Nuland, mengatakan bahwa para pejabat Amerika mengenal dan begitu menghormati Ghassan Hitto. Dari berbagai pidatonya, dapat kita sarikan bahwa salah satu hal yang ditargetkan Hitto adalah membangun struktur pemerintahan baru menggantikan struktur yang sekarang dimiliki Bashar Al-Assad serta berupaya untuk membuka jalan diplomasi dengan Bashar Al-Assad, juga menghimpun kekuatan internasional dalam usaha perdamaian Suriah, seperti dari Liga Arab atau PBB.
Akankah Hitto benar-benar membawa perubahan nyata kebangkitan Suriah? Dari awal, kedekatan Hitto dan AS sudah sangat tercium. Target-targetnya secara kalimat mungkin itu terhitung bagus dan indah. Namun, jelas target-target ini nyatanya akan memberangus revolusi sesungguhnya dan akhirnya menimbulkan perubahan yang tidak hakiki, seperti yang terjadi pada revolusi di Mesir. Semangat umat untuk berubah dengan kembali sepenuhnya pada penerapan Islam secara menyeluruh dalam naungan institusi Khilafah yang banyak digaungkan para mujahidin di Homs, Aleppo, Idlib, pun di Damaskus, dan kota-kota di Suriah lainnya, akan terpadamkan dan tersegel oleh hanya-sekedar-ganti rezim dengan permainan dalang yang sama : AS dan kroni-kroninya.
Umat dalam salah satu demonstrasinya di Aleppo sudah sadar bahwa pertolongan datang bukan dari Obama, bukan dari Erdogan, tapi dari Allah. Target yang dicanangkan Hitto mungkin bisa membawa perubahan, tapi hanya sekedar perubahan penguasa –itu pun belum tentu berhasil mengingat sedikitnya kepercayaan Suriah terhadapnya– dan bukan perubahan sistem yang sepenuhnya dibutuhkan umat: dari sistem non-Islami, baik demokrasi atau tirani atau apapun itu, menuju sistem Islam yang berasal dari Allah. Sebagaimana dalam potongan firman Allah dalam surat Yusuf ayat 40 yang artinya, “Sesungguhnya menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”. Ini menunjukkan keharusan berhukum pada syariat-syariat Allah pada seluruh aspek kehidupan manusia sebagaimana dalam bagian surat Al-Baqarah ayat 208, “Masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh”, dan bukan perubahan yang sekedar mengubah pion-pion pemegang kendali yang menjunjung sistem demokrasi dimana yang membuat hukum adalah rakyat –yaitu manusia– dengan segala keterbatasannya yang menyebabkan kesempitan dunia dan akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar