Apa yang terbersit di pikiran kita jika mendengar Matematika? Kayanya mayoritas bakal bilang “Susah” ya. Kalo kita telusuri kenapa bisa dibilang susah, mungkin karena rumus yang harus dihafal banyak banget, terus ada itung-itungannya dan kalo blank yaa ga bisa dikira-kira. Udah gitu kerumitannya yang khas (halah-halah) bikin matematika susah dipahami, terutama kalo kita absen pas penjelasan materi bahkan walaupun cuma satu jam pelajaran aja(udah melotot sepanjang jam pelajaran aja masih susah ngertinya apalagi kalo absen). Apalagi kalo guru matematika yang mengajarnya kebetulan killer, jadinya bikin kita tambah senewen dan pengen cepet-cepet menghindar dari jam pelajaran matematika, plus bikin kita automatically jadi phobiamatic (sebutan saya untuk orang yang phobia matematik :D). Ehem, buat bapak ibu guru yang kebetulan guru matematika yang merasa familiar dengan deskripsi diatas harap maklum dengan keadaan kami sebagai siswa yang serba terbatas dan penuh kesalahan. Peace.
Yeah enough sharing :P
Terus buat apa bawa-bawa matematik? Benci gue. Haiaats, jangan asal omong dulu. Kita mungkin benci pelajaran matematik di sekolah tapi kita ga mungkin bisa membenci matematika kehidupan sehari-hari.. Mengapa eh mengapa, bisa begitu? Karena eh karena, Matematika atau Aritmetika sendiri berasal dari bahasa Yunani yang artinya ‘seni berbuat sesuatu dengan bilangan’. Maen bilangan berarti ngitung. Dan yaa emang kehidupan kita ga bisa dipisahkan dari itung-itungan. Duit jajan diitung pake matematik. Ngitung hari libur pake matematik. Ke pasar juga yang dagang diemper-emper pake matematik. Mau masak nimbang terigu motong daun bawang pake matematik. Bikin rumah bikin mesin bikin robot pake matematik. Programming juga pake matematik. Lantas kenapa sebagai siswa yang kerjaanya mencari limu untuk mengarungi kehidupan, kita begitu membenci matematika? Yang begitu berguna dan tak bisa dipisahkan dari kehidupan seluruh manusia? Apakah memang kodratnya mayoritas manusia tidak menyukai matematika?
TENTU TIDAK. Mari kita menggulung waktu ke puluhan tahun lalu, ke masa dimana peradaban manusia begitu agung, masa dimana pencarian ilmu benar-benar dilakukan dengan sungguh-sungguh dan benar-benar ‘berguna’ dalam kehidupan sehari-hari…
Yaitu peradaban Islam di masa kejayaannya.
Buku sejarah peradaban Islam yang objektif Allah Sonne ueber dem Abendland(Matahari Allah di atas Dunia Barat) karya sejarawan Jerman, Dr. Sigrid Hunke menceritakan keemasan masa peradaban Islam secara objektif. Bicara peradaban, peradaban pastinya dibangun oleh suatu masyarakat yang memiliki satu dasar hidup yang darinya terpancar aturan-aturan kehidupan atau ideologi. Dalam hal ini, peradaban Islam berarti peradaban yang dibangun oleh masyarakat dengan ideologi Islam. Agaknya sulit mengatakan jika suatu peradaban yang khas dapat dihasilkan oleh masyarakat. Salah satunya tentang kehidupan para ilmuwan dibawah naungan syariat pada masa itu. Yeah sedikit tentang itu, so let’s start to tell the story :D
Masyarakat Islam kala itu adalah tokoh-tokoh matematika. Bakat matematika bangsa Yunani yang menguasai geometri serta talenta bangsa India yang terkenal sebagai “tukang hitung” bergabung menjadi satu bakat jenius yaitu bakat Masyarakat Islam. Dengan kombinasi cemerlang ini, otomatis Masyarakat Islam berkembang pesat melampaui bangsa Yunani dan India.
Bangsa Yunani sibuk berkutat dengan teori bilangan, simbolik, deret, dan hubungan antar bilangan yang begitu rumit dan ‘menyenangkan’ bagi mereka. Tapi tentunya permainan mereka yang begitu menguras otak ini tidak bisa dipakai orang di dapur atau di pasar. Pada abad-abad modern, beberapa jenis bilangan, seperti deret Fibonacci atau deret Taylor dsb banyak berguna dalam komputasi numerik fungsi-fungsi trigonometri atau mencari nilai logaritma di komputer, tapi jelas-jelas bukan untuk aktivitas sehari-hari. Mereka juga banyak membuat desain teknik dengan hitungan yang rumit, namun mereka menciptakan itu bukan untuk direalisasikan, tapi memang hanya sekedar untuk bermain hitungan. Mungkin ini juga yang sering kita rasakan sekarang, ketika banyak kita pelajari hitungan rumit dan saat kita ‘desperate’ akan terlontar kalimat “Sebenarnya untuk apa sih hitungan serumit ini?”. Tapi sekali lagi, bangsa Yunani begitu menyukainya. Dan kebetulan saya bukan salah satu dari bangsa Yunani :P
Lain bangsa Yunani, beda lagi bangsa India. Mereka berkutat pada ilmu aritmetika praktis, tata menata barang konsumsi (logistic) yang justru kurang diminati bangsa Yunani. Karena itu mereka pun menghasilkan banyak karya orisinil dan bermutu (Masuk akal jika mereka dikenal sebagai “tukang hitung”). Tapi sayangnya kehebatan mereka ini ditulis dalam bahasa misterius yang hanya dipahami oleh kalangan Brahmana. Sehingga ujung-ujungnya yaa posisi mereka dengan bangsa Yunani hampir mirip. Kedua-duanya adalah bangsa yang luarbiasa hebat, namun kehebatannya dalam matematika ini tidak terasa dalam kehidupan sehari-hari.
Padahal, sebuah ilmu sejatinya kita pelajari –selain untuk memenuhi kewajiban yang telah diperintahkan oleh Allah- untuk mempermudah hidup kita bukan?
Lalu muncullah Masyarakat Islam yang mengolah semua kemampuan itu ke dunia yang jelas. Masyarakat Islam sangat beruntung mengenal angka India, namun juga beruntung karena mereka memahami untuk menggunakannya ; tidak hanya sekedar melihatnya sebagai angka asing yang menarik seperti orang-orang Alexandria dan Syria yang lebih dulu mengenalnya. Di tangan rakyat Khilafah lah angka ini dalam waktu singkat menjadi alat yang sangat berguna. Salah satunya adalah Al-Khawarizmi.
Lewat Al-Khawarizmi dengan tambahan matematikawan Muslim selama beberapa abad, aritmatika dibuka baik untuk keperluan sehari-hari maupun dunia ilmu, serta dikembangkan secara sistematis. Dan nama Al Khawarizmi diabadikan untuk menyebut ‘sekumpulan perintah logis yang runtut’ –algoritma- yang tanpa itu dunia komputer entah akan ada atau tidak. Selain algoritma, juga aljabar yang juga untuk pertama kalinya disusun Al-Khawarizmi ke dalam suatu system. Dari aljabarlah Abu Kamil, Al-Biruni, Ibnu Sina dan Al-Karaji, dan Leonardo de Pisa menggali pengetahuannya tentang persamaan kuadratis dan kubis, yang lalu ditulis dalam bukunya yaitu Liber abaci. Dan ternyata dari sebuah sumber diriwayatkan bahwa Al-Khawarizmi mendapat ide untuk menuliskan hitungan aritmetika dalam persamaan aljabar ketika ia harus menghitung masalah pembagian waris (al-Faraidl) menurut hukum Islam.
Menarik, bukan? Aljabar yang sering kita temui sejak sekitar kelas 5 SD (dan sering membuat saya kesal juga) ternyata ditemukan oleh seorang jenius dari kaum muslim dalam rangka menerapkan hukum kemasyarakatan sesuai perintah Allah. Yeah, pas pertama kali menemukan hal ini innerheart saya langsung komen “Bisa ngerjain aljabar yang rumit banget dan akhirnya menemukan si ‘x’ itu prestasi yang amat sangat membahagiakan sekali. Ini MENEMUKAN aljabar?” dan yang menemukan TERNYATA seorang muslim (selama ini kan penemu-penemu dari dunia Islam kan jarang banget dikenalkan di sekolah ya dan bahkan kayanya ga ada).
Jadi bisa dipake introspeksi juga nih, jaman puluhan taun lalu di masa ke-jadul-an seperti itu orang bisa MENEMUKAN aljabar, sedangkan kita di jaman sekarang yang serba enak n canggih, ngerjain aljabar yang agak rumit aja udah suntuk (bagi yang ngerasa, harap tenang karena saya juga sama ko). Ada apa gerangan yang terjadi? Apakah sekelumit fakta diatas cuma cerita indah di masa silam? Tak mungkinkah kita kaum muslimin di jaman sekarang LEBIH berjaya dari pada di masa lalu?
Mau tau jawabannya?
Simak postingan saya selanjutnya :D
Hehehehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar