Jumat, 24 Mei 2013

Suriah Hari Ini : Aksi Menuju Kemenangan Hakiki



Bumi Syam hingga hari ini masih berada dalam  situasi mencekam.  Nyawa yang melayang dan darah yang tercecer kian hari kian bertambah. Jumlah syahid dan korban-korban yang berjatuhan dari kalangan muslim semakin banyak.
Para mujahidin, disana, telah bergerak demi membela agama, sanak keluarga dan agama mereka. Tidak hanya penduduk Syam, banyak juga volunteer yang menyertakan diri dalam perjuangan ini, seperti muslim Belanda, Irlandia, bahkan Cina. Itulah ikatan persaudaraan yang diikat oleh akidah Islam –tak mengenal batas negara, kesukuan ataupun ras. Mereka bergerak karena mereka sadar bahwa ini adalah perjuangan kaum muslimin, ini adalah revolusi Islam, bukan sekedar  revolusi Suriah. Ketangguhan mereka yang berlandaskan iman yang mantap dan kokoh secara masif memukul mundur pasukan rezim Nushairiyah Bashar Al-Assad.
Perjuangan mereka menuju persatuan kaum muslimin di seluruh dunia dalam satu pelindung yaitu institusi Daulah Khilafah Islamiyyah tentunya tak mendapat restu dari sejumlah pihak yang tak menghendaki bangkitnya Islam. Seperti yang terjadi di Arab Saudi, yang mengeluarkan pelarangan untuk ikut berjuang ke Suriah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Arab Saudi. Ini menunjukkan kepada kita dua hal :
Pertama, semakin menekankan pentingnya keberadaan satu institusi negara yang menjadi perisai bagi umat islam. Karena sebagus apapun konsep Islam, sulit bahkan tak akan nampak kebesarannya bila hanya sebatas konsep dan tidak diterapkan secara praktis dalam kehidupan. Pun tanpa perisai ini, penerapan hanya akan berlaku parsial dan terpecah-belah sehingga cahayanya mudah dipadamkan, sebagaimana perkataan Ali Bin Abi Thalib, “Kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tak terorganisir”. Maka, disini diperlukan satu institusi yang mampu menjadi pelindung umat  demi tercapainya kemenangan umat yang hakiki, Khilafah Islamiyah.
Kedua, memahami bahwa perjuangan para mujahidin di Suriah adalah perjuangan hakiki menuju tegaknya Khilafah yang akan tidak hanya melindungi umat muslim di Suriah namun juga di seluruh dunia. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membantu saudara-saudara dengan sekuat tenaga , dengan tenaga ‘sisa’ dari  aktivitas kita sehari-hari.. Hal ini sesuai dengan isi hadits “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam”. (HR. Muslim). Untuk kita yang belum memiliki kemampuan mumpuni untuk menjadi garda depan di medan perang, maka peran kita adalah menggiatkan terbangunnya kesadaran umum akan penting dan urgentnya penegakkan Khilafah untuk melanjutkan kehidupan Islam.
Ini mengingatkan kita bahwa sebenarnya negeri-negeri Islam yang lain telah ada bagian dari umat muslim yang telah terlatih untuk berlaga di medan jihad –militer. Teriakan takbir serta jeritan meminta pertolongan, harusnya mampu menggedor hati dan pikiran para militer muslim. Mereka mengingatkan para militer muslim tersebut, bukan akan sumpah yang mereka rapal kepada negeri-negeri mereka, tapi sumpah yang sudah mereka ucapkan, pahami dan hayati jauh sebelum itu –kepada Allah. Kalimat tauhid yang terluncur dari mulut para militan ini menuntut bukti kehambaan mereka kepada Allah, yang sudah seharusnya menjadi prioritas paling tinggi dibanding kehambaan terhadap manusia lain yang jelas-jelas tidak menerapkan hukum Allah. Sekaranglah kesempatan bahkan terhitung kewajiban para militer yang memiliki kapasitas untuk memberikan pertolongan langsung kepada kaum muslimin yang tertindas karena menganut akidah yang sama dengan yang kita anut, sebagaimana tertulis dalam terjemah Al-Qur’an Surat Al-Anfaal ayat 72 : jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan.

Sabtu, 18 Mei 2013

Memindai Wajah Baru di Oposisi Suriah



Ghassan Hitto, warga negara Amerika Serikat kelahiran Suriah, memenangkan suara mayoritas pada pemilihan perdana menteri kelompok oposisi Suriah yang dilakukan secara tertutup di Istanbul 18-19 Maret yang lalu. Ghassan Hitto resmi menggantikan Ahmad Mu’adz Al-Khatib, yang sebelumnya telah mengundurkan diri karena ‘lelah’  menghadapi lambatnya sikap lembaga internasional dalam menanggapi masalah Suriah dan memutuskan untuk bekerja lebih bebas di luar lembaga resmi. Naiknya Hitto sebagai perdana menteri (PM) yang baru diharapkan akan membawa perubahan di Suriah, lewat pembentukan pemerintahan yang baru dengan merangkul gerakan-gerakan yang aktif melawan rezim dan juga membuka peluang untuk berdialog dengan Bashar Al-Assad.
Setelah diskusi selama kurang lebih 14 jam, 35 dari 48 suara dari 63 anggota aktif Koalisi Nasional Suriah (SNC), pemilihan akhirnya dimenangkan Ghassan Hitto. Namun ternyata, terpilihnya ia sebagai perdana menteri SNC, yang merupakan kelompok oposisi di Suriah tersebut, tidak semulus itu. Juru bicara resmi SNC bahkan sampai walkout dari proses pemilihan, mencurigai adanya peran ‘pihak lain’ seperti Qatar dan Ikhwanul Muslimin yang diduga berada di balik Hitto. Hal yang sama terlontar dari komentar Kamal Labwani, salah satu anggota SNC yang juga walkout. Ia mencurigai kekuatan lain di belakang Hitto, dimana semua orang tahu bahwa Hitto menghabiskan kurang lebih 33 tahun di Amerika Serikat, bukan di Suriah. Bersamaan dengan terpilihnya Hitto, kurang lebih 12 orang menyatakan pemberhentian keanggotaan dari SNC. Hal ini disebabkan hasil pemilihan yang menurut mereka tidak sah. Tentara Pembebasan Suriah (FSA) pun tidak menyetujui hal ini, dikarenakan hasil pemilihan yang tidak mencapai konsensus dan hanya memenangkan suara mayoritas.
Jika dari dalam tubuh SNC sendiri saja sudah terjadi polemik karena naiknya Hitto ini, maka masa depan Suriah pun dipertanyakan. Hitto sendiri mulai pindah ke Texas, USA ketika berumur 17 tahun, melanjutkan pendidikan tinggi dan menjadi pebisnis di sana. Ini menunjukkan bahwa ia akan lebih akrab mengenal AS daripada Suriah. Kenaikannya menjadi PM pun mendapat pujian dari banyak pihak termasuk AS. Bahkan juru bicara luar negeri AS, Victoria Nuland, mengatakan bahwa para pejabat Amerika mengenal dan begitu menghormati Ghassan Hitto. Dari berbagai pidatonya, dapat kita sarikan bahwa salah satu hal yang ditargetkan Hitto adalah membangun struktur pemerintahan baru menggantikan struktur yang sekarang dimiliki Bashar Al-Assad serta berupaya untuk membuka jalan diplomasi dengan Bashar Al-Assad, juga menghimpun kekuatan internasional dalam usaha perdamaian Suriah, seperti dari Liga Arab atau PBB.
Akankah Hitto benar-benar membawa perubahan nyata kebangkitan Suriah? Dari awal, kedekatan Hitto dan AS sudah sangat tercium. Target-targetnya secara kalimat mungkin itu terhitung bagus dan indah. Namun, jelas target-target ini nyatanya akan memberangus revolusi sesungguhnya dan akhirnya menimbulkan perubahan yang tidak hakiki, seperti yang terjadi pada revolusi di Mesir. Semangat umat untuk berubah dengan kembali sepenuhnya pada penerapan Islam secara menyeluruh dalam naungan institusi Khilafah yang banyak digaungkan para mujahidin di Homs, Aleppo, Idlib, pun di Damaskus, dan kota-kota di Suriah lainnya, akan terpadamkan dan tersegel oleh hanya-sekedar-ganti rezim dengan permainan dalang yang sama : AS dan kroni-kroninya.
Umat dalam salah satu demonstrasinya di Aleppo sudah sadar bahwa pertolongan datang bukan dari Obama, bukan dari Erdogan, tapi dari Allah. Target yang dicanangkan Hitto mungkin bisa membawa perubahan, tapi hanya sekedar perubahan penguasa –itu pun belum tentu berhasil mengingat sedikitnya kepercayaan Suriah terhadapnya– dan bukan perubahan sistem yang sepenuhnya dibutuhkan umat: dari sistem non-Islami, baik demokrasi atau tirani atau apapun itu, menuju sistem Islam yang berasal dari Allah. Sebagaimana dalam potongan firman Allah dalam surat Yusuf ayat 40 yang artinya, “Sesungguhnya menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”. Ini menunjukkan keharusan berhukum pada syariat-syariat Allah pada seluruh aspek kehidupan manusia sebagaimana dalam bagian surat Al-Baqarah ayat 208, “Masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh”, dan bukan perubahan yang sekedar mengubah pion-pion pemegang kendali yang menjunjung sistem demokrasi dimana yang membuat hukum adalah rakyat –yaitu manusia– dengan segala keterbatasannya yang menyebabkan kesempitan dunia dan akhirat.